Selasa, 20 Desember 2011



Lesung dan Simbol Masyarakat Agraris


Sore itu hujan menyekap di dusun Kotakan, kelurahan Bakalan kabupaten Sukoharjo, namun ratusan warga baik muda dan tua berbaur di pendopo sanggar seni sekar jagad. Aura harmonis keguyuban terasa saat suara riuh tawa anak-anak mulai memecah keheningan. 
Tawa kebahagian itu menyeruak dibarengi dengan tabuhan lesung beradu alu di tangan ke delapan ibu yang berusia lanjut, lengkap dengan gerakan tubuh yang berasal dari hentakaan saat mereka menabuh lesung. Tabuhan itu lambat laun semakin rancak, dan suka cita itupun sangat kuat yang terlihat disetiap senyum warga. 
Mengenakan baju ala petani, dengan jarik yang melilit di tubuhnya, tanpa polesan make up layaknya pagelaran musik dengan kemegahan panggungnya. Ya, mereka adalah para petani dari warga setempat yang masih melestarikan musik tradisional yang dikenal dengan nama kotekan. Sungguh suatu pertunjukan musik sederhana ala warga Kotakan Bakalan Sukoharjo.  
Suatu kesadaran untuk kembali menghidupkan seni yang berakar dari pedesaan ini merupakan suatu perwujudan semangat yang patut diapresiasi. Pasalnya bukan suatu pekerjaan yang gampang, menghadirkan kembali seni yang nyaris terlupakan, di tengah pesatnya industri hiburan moderen. Dan secara tidak langsung mereka tengah mengingatkan kepada masyarakat bahwa ini merupkan saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang dikenal dengan negara agraris. 
Keberadaan seni tradisional ini ternyata sudah mengakar sejak zaman terdahulu dan sudah suatu keharusan untuk tetap dilestarikan, “Keberadaan lesung didalam masyarakat agraris memang tidak bisa dilepaskan dari alam berpikir masyarakatnya juga filosofi yang terkandung didalamnya. Di desa ini ritual tabuh lesung sudah ada sejak dulu dan masih digunakan untuk hajatan tertentu,” paparnya 
Selain untuk melestarikan keberadaan seni tradisional ini, Ngadimin mengaku, dengan adanya kotekan secara tidak langsung telah membentuk suatu keguyuban antar warga, guna meminimalisir konflik sosial di desa tersebut. “Yang paling terpenting adalah melalui seni dan budaya, kita bisa membangun sepirit pancasila. Sehingga orang lebih bisa memahami nilai luhur seni dan budaya yang berakar dari negara agraris ini, “ ungkapnya.
Seiring kemajuan zaman yang tidak bisa terbendung, membuat fungsi kotekan dari waktu-kewaktu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pada zaman terdahulu kesenian ini digunakan sebagai alat penghibur dikala menumbuk padi, sekaligus sebagai media untuk penanda saat ada bahaya seperti bencana alam, gerhana bulan atau gerhana matahari. Tak hanya itu saja, dengan lesung inilah bisa mengumpulkan masyarakat saat dilaksanakannya perhelatan bersih desa dan  upacara panen padi. 
Seperti yang tergambar di desa Kotakan ini, warga melakukan ritual tabuh lesung saat dilaksanakannya tanam pohon yang dikerjakan secara bergtong royong. “Ini tentunya untuk menguatkan memori tersebut meski secara aspek musikal juga mempunyai kekuatan daya panggil dan bisa membawa kegembiraan bersama,” jelas Ngadimen. 
Dibalik alunan suaranya yang khas, permainan musik kotekan ini menyimpan nilai kehidupan yakni kesabaran, ikhlas, mituhu dan budi luhur yang menjadi anutan kehidupan masyarakat jawa. “Suara yang ada ini tidak hanya sekedar asal memukul lesung saja, namun ada gending-gending pakem dan semua berbicara soal pertanian seperti halnya bonang renting, sentek suri, asu gancet, dan lain-lain,” papar Ngadimin.
Salah satu contoh gendhing yang kerap di tabuhkan adalah gendhing lesung Asu Gencet, artinya anjing kawin. Dalam permainan tetabuhannya dicirikan khusus dua penabuh lesung yang saling beradu pantat metafor dari posisi anjing kawin. Metafor tersebut membawa pesan tentang tatanan musim di Jawa yang dikenal dengan istilah pranoto mongso, “Dimana ketika masyarakat sering melihat banyaknya anjing kawin di jalanan maka itu sebagai tanda untuk memulai panen padi di Jawa yang di kenal dengan istilah mongso ke songo,” jelas dia. 
Lesung yang terbuat dari seonggok kayu dengan beberapa lubang ditengahnya ini menyiratkan suatu simbol dari perwujudan manusia yakni antara laki-laki dan perempuan. Lesung tak ubahnya disimbolkan sebagai seorang hawa dan alu disimbolkan sebagai seorang pria. Tak terpikirkan kesenian yang terlahir secara sederhana yang menggambarkan negara agraris ini menyimpan nilai keluhuran yang mencerminkan karakter bangsa Indonesia sesungguhnya.