Mitos
Kesenian Janggrungan di masyarakat Ngringo
Memasuki
gang diperkampungan Ngringo Jaten Karanganyar terdengar
sayup-sayup dari kejauhan suara gendhing jawa yang dibarengi suara
dari seperangkat gamelan yang ditabuh oleh para pengrawit. Tak
disangka suara tersebut berasal dari ritualan Janggrungan
yang diadakan setiap setahun sekali pada bulan ruwah. Uniknya ritul
ini digelar di dalam pemakaman umum Ngingo yang berada di jalan
Amarta.
Nampak kedua
penari yang tak lagi berusia belia menyanyikan tembang jawa sambil
menari ala kadarnya. Dengan mengenakan sampur atau selendang untuk
menjerat para lelaki yang mau diajak berjoget. Begitulah ciri khas
dari kesenian Janggrungan
atau yang sering disebut dengan istilah Tayuban.
Acara yang
dimulai pukul 20.00 ini merupakan serangkaian dari acara bersih dusun
yang sudah menjadi tradisi dari masyarakat Ngringo. Sebelum
janggrungan dimulai
sore harinya warga melakukan hajatan atau kondangan bersama. Mereka
berkumpul dipesarean Kyai Jegang Wonolapan,yang dianggap ingkang
mbau rekso atau sebagai sesepuh dikampung
tersebut. Hajatan yang dilakukan warga ini sebagai bentuk rasa
syukur dan hormat mereka kepada tuhan yang maha esa, atas limpahan
keselamatan warga didesa itu.
Menariknya
dari tradisi bersih dusun ini adalah adanya mat-matan
dan janggrungan.
Kesenian yang telah dikenal sebagai kesenian rakyat di masyarakat
pedesaan ini, pada malam itu hadir ditengah masyarakat perkotaan.
Jika dibayangkan ini menjadi suatu hal yang mustahil, namun
kemustahilan itu bisa ditepis lantaran mitos dari tradisi janggrungan
yang menyelimuti masyarakat Ngringo. Tradisi yang telah mengakar
inilah yang mengahantarkan kesenian Tayub bisa hidup diperkotaan.
Konon
menurut cerita tradisi ini telah dijalankan secara turun temurun dari
masa nenek moyang terdahulu hingga di sekarang.”Ini sudah menjadi
kebiasaan yang menaluri masyarakat. Apa yang telah dilakukan oleh
nenek moyang dahulu sudah suatu keharuskan dilakoni(dijalankan-red).
Kalau tidak dilakukan masyarakat sini akan terkena bebendu
atau musibah,” Ungkap Sutarto Budi
Winoto(69)ketua pelaksana ritual serta sebagai warga yang dituakan.
Sutarto
menuturkan ditahun 1970-an silam masyarakat Ngringo mencoba mengganti
ritual janggrungan
dengan pagelaran wayang kulit yang digelar disalah satu rumah warga.
Namun yang terjadi justru berbuah malapetaka. Pada saat itu banyak
warga yang terjangkit penyakit dan tidak tau asalnya dari mana.
Akhirnya dari kepercayaan itulah mitos mulai terbentuk di kalangan
warga Ngringo. “Sejarahnya waktu nenek moyang dahulu diberi wangsit
dari eyang Kyai Jegang Wonolapan. Kalau setelah masa panen harus
melakukan bersih desa dengan menggelar janggrungan
atau tayub. Berhubung ada suatu hal itu akhirnya tradisi ini tidak
bisa ditinggalkan warga kampong sini,” jelas Sutarto.
Bertahan
ditengah Modernitas Hiburan
Disisi lain
kesenian Tayub tak akan meriah jika tanpa kehadiran ledhek
atau penari tayub. Agar tradisi tahunan itu tetap terselenggara warga
mendatangkan langsung dari kampong kedung jeruk kecamatan Mojo Gedang
kabupaten Karangannyar. Kesenian yang telah mulai pudar inipun masih
memikat hati para penikmat kesenian kampung ini, seperti mbah Tami
(65)warga Ngringo Rt 02/Rw 04 yang pada malam itu telah menghabiskan
waktu hanya untuk menonton kesenian ini.” Untungnya di kampung ini
sudah menjadi tradisi yang harus dijalankan, jadi saya masih bisa
melihat Tayuban, yang sekarang sudah jarang saya temui. Kalau mau
melihat Tayub, ya
harus menunggu ruwahan baru bisa melihat,” tuturnya.
Sementara
itu kedua ledhek yang
bernama Tukini dan Nah itu harus tetap menjalankan profesinya sebagai
seorang penari tayub. Meskipun sudah jarang yang mengundangnya
lantaran usia yang sudah lanjut. Mereka harus rela dibayar murah,
agar kesenian ini tetap menjadi bagian dari kesenian rakyat. Jika
dibayangkan di era jaman yang penuh dengan kecanggihan ala modernitas
ini, tak ada lagi generasi muda yang mau menggeluti sebagai penari
tayub. Lantas bagaimana kesenian ini bisa bertahan, mau tidak mau
mereka hanya bisa bertahan di tengaj arus modernitas hiburan yang
menjamur di berbagai daerah.
Seperti yang
tercermin dari kedua perempuan berkonde itu tak peduli akan dinginnya
malam, mereka harus mengenakan kemben, meski nampak kelelahan karena
demi sebuah profesi yang telah lama ia geluti, mereka harus tetap
menebar senyum yang tersirat dari gincu merahnya. Seketika tembang
jawa mulai di nyanyikan, sampur atau selendang mulai di kalungkan
dileher salah satu penonton untuk menemani penari berjoget hingga.
Bertahan
dengan kesenian yang lambat laun akan tergerus oleh perubahan jaman
ini adalah beban dan tugas yang sangat berat, khusunya bagi
seorang yang melakoni sebagai ledhek.
Pasalnya profesi ledhek
sering dianggap rendahan, dan kebanyakan orang menganggap penari
tayub, hanyalah sebagai simbol seks belaka. Seperti halnya laku
nyelup atau berhubungan seks, yang dari dulu
hingga sekarang telah melekat di telinga masyarakat luas. Bahwa untuk
menyempurnakan profesinya ia harus melakukan hal tersebut terutama
dengan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi. Hal ini dipercaya
seorang penari tayub akan menjadi laris.
Masyarakat seharusnya mulai
bisa mengikis image negatif itu, namun yang terpenting dibalik dari
sisi negatif tersebut mereka para abdi untuk kesenian Tayub agar
tetap hidup sampai sekarang. Tak hanya sebagai seorang abdi saja,
dibalik pamornya yang telah mulai pudar keberadaan mereka sebenarnya
berperan sebagai perempuan perkasa penopang kehidupan keluarganya.