Rabu, 26 Oktober 2011


 Cerita singkat kampung balong 
part 3,   19 oktober 2010. 20.00 WIB

Malam itu ketua Rt maupun Rw dan beberapa orang dari kelurahan Sudiroprajan serta beberapa mahasiswa juga ikut dalam pertemuan LKPM.  Ini adalah suatu kelembagaan kemitraan polisi masyarakat, dengan tujuan untuk membicarakan terkait soal sosialisasi forum kemitraam polisi masyarakat yang mana akan dapat memberikan penyuluhan narkoba dan penyuluhan tentang sadar hukum melalui forum komunikasi kemasyarakatan. Sehingga badan tersebut diharapkan dapat menanggulangi permasalahan yang ada di masyarakat. Pembicaraan tidak hanya dalam konteks itu saja, akan tetapi yang lebih menarik ketika saya mendengarkan mengenai kampung pecinan disini balong adalah sebagai salah satu kawasan pecinan cagar budaya tertua di kota bengawan ini yang akan dijadikan sebagai kampung wisata, dengan mengakomodir karakter-karakter lokal yang telah ada. Melihat semakin maraknya modernisasi bangunan yang berkembang di kota Solo saat ini, maka perlu adanya upaya konservasi kawasan pecinan. Karena kawasan tersebut sarat dengan masyarakat dua etnis maka harapannya, konservasi tersebut dapat memasukkan aksentuasi jawa dan cina sehingga dapat bersinergi atau bisa terkorelasi dengan baik. Dengan demikian akan tercipta suatu bentuk tata bangunan yang jika dilihat secara fisik adalah modernisasi dengan tradisi yang hidup sebagai perlintasan budaya dan segala macam interaksi budayanya.
Jika mengingat Integrasi sosial orang Cina di Surakarta, di satu sisi memiliki ruang sejarah yang sangat kompleks dengan potret tipologi pemukimannya yang menunjukkan fenomena kampung dagang pecinan. Di sisi lain keberadaan orang Cina di Solo memiliki rentang panjang sejarah sosial ekonomi yang sangat tua dalam proses integrasi sosial mereka dengan kaum pribumi, hampir boleh dikatakan ekologi sungai yang masih berfungsi sebagai jaringan trasportasi perdagangan, mereka selalu ada mewarnai aktivitas perdagangan yang lintas etnik. Dalam hal ini peradaban besar sungai bengawan solo periode kuno dijaman Mataram Kartasura, orang Cina sudah bermukim dan meramaikan komunitas dagang disana.

  Cerita singkat kampung Balong
Part 2, 13 oktober 2010

Malam hari kami pun kembali ke kelurahan Sudiroprajan, pada malam itu banyak orang telah berkumpul dikelurahan tersebut, untuk melakukan kegiatan rutin kumpul Rt dan Rw, dan dengan mendatangkan pembicara. Entah apa yang dibahas dalam pertemuan itu kami kurang tau, karena kami berada diluar dengan pak antok. Rabu 13 oktober 2010, kami berkesempatan berhimpun dengan warga balong, tak ada kesan keterasingan begitu yang dapat kami tangkap. Kesahajaan, gotong royong, layaknya hidup dipedesaan dengan nuansa penuh kekeluargaan, seperti itulah yang dapat kami rasakan, sehingga tak terlihat mana yang pribumi dan mana yang non pribumi. Terpintas dipikiranku, balong dan Sudiroprajan dua kampung yang identik sebagai pusat tempat tinggal warga etnis tionghoa dan keturunannya ini ternyata menyimpan akulturasi kebudayaan antara warga tionghoa dan pribumi berpadu dan menyatu dalam sebuah harmoni yang selaras dan indah namun tetap alami. Seperti pernikahan antaretnis, yang pada malam itu juga diperkenalkan kepada kami beberapa keluarga dari pernikahan dua etnis yang berbeda, mungkin kebanyakan orang ini suatu hal yang biasa. Namun dari sisi itulah membentuk generasi yang tinggal di kampung tersebut saat ini, kebanyakan sudah berdarah campuran.
Hari berikutnya kami masih menelusuri perkampungan itu, melewati gang-gang yang tidak begitu luas dengan deretan rumah-rumah yang tak ada jarak antara rumah yang satu dan lainnya, sering orang menyebutnya dengan gang kelinci, dan ini pun cukup menggambarkan warga etnis cina yang hidup disana dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah. Itu bukan hal yang terpenting, dipemukiman itulah kami bertemu dengan salah satu warga cina, Sebut saja koh jepang.
Banyak hal yang diceritakan oleh koh jepang salah satunya adalah bicara soal peristiwa 98. Mengenakan celana pendek dan kaos warna putih ini mencoba kembali mengingat lembaran kelam masa silam di mana kerusuhan di Solo begitu cepat tersulut hanya karena isu pribumi dan non pribumi. Pada saat itu memang cukup mengkhawatirkan untuk warga etnis tionghoa, namun tidak untuk warga balong. Kampung Balong dapat dikondisikan aman tidak ada baku hantam sasaran amuk massa. Meskipun secara fisik dan garis lahir mereka memiliki perbedaan yang signifikan dengan masyarakat pribumi, tetapi perbedaan tersebut mesti dikalahkan oleh perasaan solidaritas sebagai sesama makhluk sosial dengan menanggalkan kesenjangan antar etnis dan agamis.

 Cerita singkat kampung balong 
part 1  9 oktober 2010

Kawasan pecinan di daerah balong, ini merupakan salah satu kawasan yang perlu dilestarikan. Mengutip dari beberapa tulisan yang pernah saya baca bahwa orang-orang tionghoa (china) diperkirakan sudah ada di Solo sejak tahun 1746, tidak lama setelah kota itu dijadikan dinasti mataram (kasunanan Surakarta) oleh Pakubuwono II. Ketika hadir di Solo pada 1746, dalam perkembangannya masyarakat etnis tionghoa harus tunduk kepada peraturan pemerintah kolonial yang diskriminatif. Masyarakat etnis tersebut dibatasi ruang geraknya dengan sistem surat jalan (passen stelsel). Mereka dilarang memiliki tanah, sesuai UU agraria 1870, bahkan tempat tinggalnya dilokalisasi di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama wijk. Setiap kampung cina atau wijk dikepalai oleh seorang kapitan china yang dikenal dengan sebutan “babah mayor”. Pada sekitar 1911, atas desakan organisasi atau gerakan nasionalis di kalangan orang-orang etnis tionghoa, pemerintah kolonial mengabulkan tuntutan penghapusan wijkenstelsel dan passenstelsel. Sejak itu pemukiman masyarakat etnis tionghoa tidak lagi mengelompok di daerah Balong, tapi telah menyebar ke lokasi yang lain seperti warung pelem, limasan, gandekan dan sekitar lojiwetan. Dan menariknya kampung balong masih tetap bertahan sebagai perkampungan pecinan. Sebab mayoritas masyarakat yang tinggal di sana keturunan cina.
Selintas diatas sedikit saya ceritakan awal mulanya masyarakat etnis cina di Solo, dan pada akhirnya kami memilih balong untuk dijadikan referensi pembelajaran dan sebagai bahan pemikiran. Langkah awal, kamipun mendatangi kelurahan Sudiroprajan guna meminta ijin untuk dapat melakukan penelusuran di daerah tersebut. Kehadiran kamipun dinilai dan diterima baik oleh instansi kelurahan Sudiroprajan, sehingga dapat diijinkan untuk melakukan penelitian terkait dengan perkembangan eksistensi keharmonisan warga balong yang masih tetap terjaga hingga saat ini.
Berkaitan dengan wacana tersebut saya dan teman sayapun mulai berinteraksi dengan warga balong. Kali pertama kami bertandang di daerah tersebut tepatnya pada hari sabtu,9 oktober 2010, dan kami pun beruntung dapat bertemu dengan bapak joko riyanto yang dikenal oleh warga dengan sapaan “pak antok”, sebagai kepala dusun atau sering disebut dengan bayan ini lah yang menghantarkan kami untuk dapat srawung dengan warga. Pertemuan awal kami dengan pak antok Banyak hal yang kami bicarakan berkaitan dengan terbentuknya balong, pluralitas dari masyarakat balong, keseniannya, perkawinan dua etnis jawa dan cina, kreativitas yang dihasilkan dan masih banyak hal. Munculnya fenomena kampung mbalong adalah sebagai wujud asimilasi Cina-Jawa, atau dalam bahasa local yang diistilahkan oleh pak Antok, disebut keturunan “ampyang” yaitu kacang Cina gula Jawa. Obrolan kamipun berlangsung cukup lama.Ini yang kami jadikan jembatan penghubung antara masyarakat dengan kami.

Mitos Kesenian Janggrungan di masyarakat Ngringo

Memasuki gang diperkampungan Ngringo Jaten Karanganyar terdengar sayup-sayup dari kejauhan suara gendhing jawa yang dibarengi suara dari seperangkat gamelan yang ditabuh oleh para pengrawit. Tak disangka suara tersebut berasal dari ritualan Janggrungan yang diadakan setiap setahun sekali pada bulan ruwah. Uniknya ritul ini digelar di dalam pemakaman umum Ngingo yang berada di jalan Amarta. 
 
Nampak kedua penari yang tak lagi berusia belia menyanyikan tembang jawa sambil menari ala kadarnya. Dengan mengenakan sampur atau selendang untuk menjerat para lelaki yang mau diajak berjoget. Begitulah ciri khas dari kesenian Janggrungan atau yang sering disebut dengan istilah Tayuban. 
 
Acara yang dimulai pukul 20.00 ini merupakan serangkaian dari acara bersih dusun yang sudah menjadi tradisi dari masyarakat Ngringo. Sebelum janggrungan dimulai sore harinya warga melakukan hajatan atau kondangan bersama. Mereka berkumpul dipesarean Kyai Jegang Wonolapan,yang dianggap ingkang mbau rekso atau sebagai sesepuh dikampung tersebut. Hajatan yang dilakukan warga ini sebagai bentuk rasa syukur dan hormat mereka kepada tuhan yang maha esa, atas limpahan keselamatan warga didesa itu. 
 
Menariknya dari tradisi bersih dusun ini adalah adanya mat-matan dan janggrungan. Kesenian yang telah dikenal sebagai kesenian rakyat di masyarakat pedesaan ini, pada malam itu hadir ditengah masyarakat perkotaan. Jika dibayangkan ini menjadi suatu hal yang mustahil, namun kemustahilan itu bisa ditepis lantaran mitos dari tradisi janggrungan yang menyelimuti masyarakat Ngringo. Tradisi yang telah mengakar inilah yang mengahantarkan kesenian Tayub bisa hidup diperkotaan. 
 
Konon menurut cerita tradisi ini telah dijalankan secara turun temurun dari masa nenek moyang terdahulu hingga di sekarang.”Ini sudah menjadi kebiasaan yang menaluri masyarakat. Apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang dahulu sudah suatu keharuskan dilakoni(dijalankan-red). Kalau tidak dilakukan masyarakat sini akan terkena bebendu atau musibah,” Ungkap Sutarto Budi Winoto(69)ketua pelaksana ritual serta sebagai warga yang dituakan. 
 
Sutarto menuturkan ditahun 1970-an silam masyarakat Ngringo mencoba mengganti ritual janggrungan dengan pagelaran wayang kulit yang digelar disalah satu rumah warga. Namun yang terjadi justru berbuah malapetaka. Pada saat itu banyak warga yang terjangkit penyakit dan tidak tau asalnya dari mana. Akhirnya dari kepercayaan itulah mitos mulai terbentuk di kalangan warga Ngringo. “Sejarahnya waktu nenek moyang dahulu diberi wangsit dari eyang Kyai Jegang Wonolapan. Kalau setelah masa panen harus melakukan bersih desa dengan menggelar janggrungan atau tayub. Berhubung ada suatu hal itu akhirnya tradisi ini tidak bisa ditinggalkan warga kampong sini,” jelas Sutarto.

Bertahan ditengah Modernitas Hiburan

Disisi lain kesenian Tayub tak akan meriah jika tanpa kehadiran ledhek atau penari tayub. Agar tradisi tahunan itu tetap terselenggara warga mendatangkan langsung dari kampong kedung jeruk kecamatan Mojo Gedang kabupaten Karangannyar. Kesenian yang telah mulai pudar inipun masih memikat hati para penikmat kesenian kampung ini, seperti mbah Tami (65)warga Ngringo Rt 02/Rw 04 yang pada malam itu telah menghabiskan waktu hanya untuk menonton kesenian ini.” Untungnya di kampung ini sudah menjadi tradisi yang harus dijalankan, jadi saya masih bisa melihat Tayuban, yang sekarang sudah jarang saya temui. Kalau mau melihat Tayub, ya harus menunggu ruwahan baru bisa melihat,” tuturnya.

Sementara itu kedua ledhek yang bernama Tukini dan Nah itu harus tetap menjalankan profesinya sebagai seorang penari tayub. Meskipun sudah jarang yang mengundangnya lantaran usia yang sudah lanjut. Mereka harus rela dibayar murah, agar kesenian ini tetap menjadi bagian dari kesenian rakyat. Jika dibayangkan di era jaman yang penuh dengan kecanggihan ala modernitas ini, tak ada lagi generasi muda yang mau menggeluti sebagai penari tayub. Lantas bagaimana kesenian ini bisa bertahan, mau tidak mau mereka hanya bisa bertahan di tengaj arus modernitas hiburan yang menjamur di berbagai daerah.

Seperti yang tercermin dari kedua perempuan berkonde itu tak peduli akan dinginnya malam, mereka harus mengenakan kemben, meski nampak kelelahan karena demi sebuah profesi yang telah lama ia geluti, mereka harus tetap menebar senyum yang tersirat dari gincu merahnya. Seketika tembang jawa mulai di nyanyikan, sampur atau selendang mulai di kalungkan dileher salah satu penonton untuk menemani penari berjoget hingga. 
 
Bertahan dengan kesenian yang lambat laun akan tergerus oleh perubahan jaman ini adalah beban dan tugas yang sangat berat, khusunya bagi seorang yang melakoni sebagai ledhek. Pasalnya profesi ledhek sering dianggap rendahan, dan kebanyakan orang menganggap penari tayub, hanyalah sebagai simbol seks belaka. Seperti halnya laku nyelup atau berhubungan seks, yang dari dulu hingga sekarang telah melekat di telinga masyarakat luas. Bahwa untuk menyempurnakan profesinya ia harus melakukan hal tersebut terutama dengan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi. Hal ini dipercaya seorang penari tayub akan menjadi laris. 

Masyarakat seharusnya mulai bisa mengikis image negatif itu, namun yang terpenting dibalik dari sisi negatif tersebut mereka para abdi untuk kesenian Tayub agar tetap hidup sampai sekarang. Tak hanya sebagai seorang abdi saja, dibalik pamornya yang telah mulai pudar keberadaan mereka sebenarnya berperan sebagai perempuan perkasa penopang kehidupan keluarganya.