Selasa, 20 Desember 2011



Lesung dan Simbol Masyarakat Agraris


Sore itu hujan menyekap di dusun Kotakan, kelurahan Bakalan kabupaten Sukoharjo, namun ratusan warga baik muda dan tua berbaur di pendopo sanggar seni sekar jagad. Aura harmonis keguyuban terasa saat suara riuh tawa anak-anak mulai memecah keheningan. 
Tawa kebahagian itu menyeruak dibarengi dengan tabuhan lesung beradu alu di tangan ke delapan ibu yang berusia lanjut, lengkap dengan gerakan tubuh yang berasal dari hentakaan saat mereka menabuh lesung. Tabuhan itu lambat laun semakin rancak, dan suka cita itupun sangat kuat yang terlihat disetiap senyum warga. 
Mengenakan baju ala petani, dengan jarik yang melilit di tubuhnya, tanpa polesan make up layaknya pagelaran musik dengan kemegahan panggungnya. Ya, mereka adalah para petani dari warga setempat yang masih melestarikan musik tradisional yang dikenal dengan nama kotekan. Sungguh suatu pertunjukan musik sederhana ala warga Kotakan Bakalan Sukoharjo.  
Suatu kesadaran untuk kembali menghidupkan seni yang berakar dari pedesaan ini merupakan suatu perwujudan semangat yang patut diapresiasi. Pasalnya bukan suatu pekerjaan yang gampang, menghadirkan kembali seni yang nyaris terlupakan, di tengah pesatnya industri hiburan moderen. Dan secara tidak langsung mereka tengah mengingatkan kepada masyarakat bahwa ini merupkan saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang dikenal dengan negara agraris. 
Keberadaan seni tradisional ini ternyata sudah mengakar sejak zaman terdahulu dan sudah suatu keharusan untuk tetap dilestarikan, “Keberadaan lesung didalam masyarakat agraris memang tidak bisa dilepaskan dari alam berpikir masyarakatnya juga filosofi yang terkandung didalamnya. Di desa ini ritual tabuh lesung sudah ada sejak dulu dan masih digunakan untuk hajatan tertentu,” paparnya 
Selain untuk melestarikan keberadaan seni tradisional ini, Ngadimin mengaku, dengan adanya kotekan secara tidak langsung telah membentuk suatu keguyuban antar warga, guna meminimalisir konflik sosial di desa tersebut. “Yang paling terpenting adalah melalui seni dan budaya, kita bisa membangun sepirit pancasila. Sehingga orang lebih bisa memahami nilai luhur seni dan budaya yang berakar dari negara agraris ini, “ ungkapnya.
Seiring kemajuan zaman yang tidak bisa terbendung, membuat fungsi kotekan dari waktu-kewaktu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pada zaman terdahulu kesenian ini digunakan sebagai alat penghibur dikala menumbuk padi, sekaligus sebagai media untuk penanda saat ada bahaya seperti bencana alam, gerhana bulan atau gerhana matahari. Tak hanya itu saja, dengan lesung inilah bisa mengumpulkan masyarakat saat dilaksanakannya perhelatan bersih desa dan  upacara panen padi. 
Seperti yang tergambar di desa Kotakan ini, warga melakukan ritual tabuh lesung saat dilaksanakannya tanam pohon yang dikerjakan secara bergtong royong. “Ini tentunya untuk menguatkan memori tersebut meski secara aspek musikal juga mempunyai kekuatan daya panggil dan bisa membawa kegembiraan bersama,” jelas Ngadimen. 
Dibalik alunan suaranya yang khas, permainan musik kotekan ini menyimpan nilai kehidupan yakni kesabaran, ikhlas, mituhu dan budi luhur yang menjadi anutan kehidupan masyarakat jawa. “Suara yang ada ini tidak hanya sekedar asal memukul lesung saja, namun ada gending-gending pakem dan semua berbicara soal pertanian seperti halnya bonang renting, sentek suri, asu gancet, dan lain-lain,” papar Ngadimin.
Salah satu contoh gendhing yang kerap di tabuhkan adalah gendhing lesung Asu Gencet, artinya anjing kawin. Dalam permainan tetabuhannya dicirikan khusus dua penabuh lesung yang saling beradu pantat metafor dari posisi anjing kawin. Metafor tersebut membawa pesan tentang tatanan musim di Jawa yang dikenal dengan istilah pranoto mongso, “Dimana ketika masyarakat sering melihat banyaknya anjing kawin di jalanan maka itu sebagai tanda untuk memulai panen padi di Jawa yang di kenal dengan istilah mongso ke songo,” jelas dia. 
Lesung yang terbuat dari seonggok kayu dengan beberapa lubang ditengahnya ini menyiratkan suatu simbol dari perwujudan manusia yakni antara laki-laki dan perempuan. Lesung tak ubahnya disimbolkan sebagai seorang hawa dan alu disimbolkan sebagai seorang pria. Tak terpikirkan kesenian yang terlahir secara sederhana yang menggambarkan negara agraris ini menyimpan nilai keluhuran yang mencerminkan karakter bangsa Indonesia sesungguhnya. 


Rabu, 26 Oktober 2011


 Cerita singkat kampung balong 
part 3,   19 oktober 2010. 20.00 WIB

Malam itu ketua Rt maupun Rw dan beberapa orang dari kelurahan Sudiroprajan serta beberapa mahasiswa juga ikut dalam pertemuan LKPM.  Ini adalah suatu kelembagaan kemitraan polisi masyarakat, dengan tujuan untuk membicarakan terkait soal sosialisasi forum kemitraam polisi masyarakat yang mana akan dapat memberikan penyuluhan narkoba dan penyuluhan tentang sadar hukum melalui forum komunikasi kemasyarakatan. Sehingga badan tersebut diharapkan dapat menanggulangi permasalahan yang ada di masyarakat. Pembicaraan tidak hanya dalam konteks itu saja, akan tetapi yang lebih menarik ketika saya mendengarkan mengenai kampung pecinan disini balong adalah sebagai salah satu kawasan pecinan cagar budaya tertua di kota bengawan ini yang akan dijadikan sebagai kampung wisata, dengan mengakomodir karakter-karakter lokal yang telah ada. Melihat semakin maraknya modernisasi bangunan yang berkembang di kota Solo saat ini, maka perlu adanya upaya konservasi kawasan pecinan. Karena kawasan tersebut sarat dengan masyarakat dua etnis maka harapannya, konservasi tersebut dapat memasukkan aksentuasi jawa dan cina sehingga dapat bersinergi atau bisa terkorelasi dengan baik. Dengan demikian akan tercipta suatu bentuk tata bangunan yang jika dilihat secara fisik adalah modernisasi dengan tradisi yang hidup sebagai perlintasan budaya dan segala macam interaksi budayanya.
Jika mengingat Integrasi sosial orang Cina di Surakarta, di satu sisi memiliki ruang sejarah yang sangat kompleks dengan potret tipologi pemukimannya yang menunjukkan fenomena kampung dagang pecinan. Di sisi lain keberadaan orang Cina di Solo memiliki rentang panjang sejarah sosial ekonomi yang sangat tua dalam proses integrasi sosial mereka dengan kaum pribumi, hampir boleh dikatakan ekologi sungai yang masih berfungsi sebagai jaringan trasportasi perdagangan, mereka selalu ada mewarnai aktivitas perdagangan yang lintas etnik. Dalam hal ini peradaban besar sungai bengawan solo periode kuno dijaman Mataram Kartasura, orang Cina sudah bermukim dan meramaikan komunitas dagang disana.

  Cerita singkat kampung Balong
Part 2, 13 oktober 2010

Malam hari kami pun kembali ke kelurahan Sudiroprajan, pada malam itu banyak orang telah berkumpul dikelurahan tersebut, untuk melakukan kegiatan rutin kumpul Rt dan Rw, dan dengan mendatangkan pembicara. Entah apa yang dibahas dalam pertemuan itu kami kurang tau, karena kami berada diluar dengan pak antok. Rabu 13 oktober 2010, kami berkesempatan berhimpun dengan warga balong, tak ada kesan keterasingan begitu yang dapat kami tangkap. Kesahajaan, gotong royong, layaknya hidup dipedesaan dengan nuansa penuh kekeluargaan, seperti itulah yang dapat kami rasakan, sehingga tak terlihat mana yang pribumi dan mana yang non pribumi. Terpintas dipikiranku, balong dan Sudiroprajan dua kampung yang identik sebagai pusat tempat tinggal warga etnis tionghoa dan keturunannya ini ternyata menyimpan akulturasi kebudayaan antara warga tionghoa dan pribumi berpadu dan menyatu dalam sebuah harmoni yang selaras dan indah namun tetap alami. Seperti pernikahan antaretnis, yang pada malam itu juga diperkenalkan kepada kami beberapa keluarga dari pernikahan dua etnis yang berbeda, mungkin kebanyakan orang ini suatu hal yang biasa. Namun dari sisi itulah membentuk generasi yang tinggal di kampung tersebut saat ini, kebanyakan sudah berdarah campuran.
Hari berikutnya kami masih menelusuri perkampungan itu, melewati gang-gang yang tidak begitu luas dengan deretan rumah-rumah yang tak ada jarak antara rumah yang satu dan lainnya, sering orang menyebutnya dengan gang kelinci, dan ini pun cukup menggambarkan warga etnis cina yang hidup disana dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah. Itu bukan hal yang terpenting, dipemukiman itulah kami bertemu dengan salah satu warga cina, Sebut saja koh jepang.
Banyak hal yang diceritakan oleh koh jepang salah satunya adalah bicara soal peristiwa 98. Mengenakan celana pendek dan kaos warna putih ini mencoba kembali mengingat lembaran kelam masa silam di mana kerusuhan di Solo begitu cepat tersulut hanya karena isu pribumi dan non pribumi. Pada saat itu memang cukup mengkhawatirkan untuk warga etnis tionghoa, namun tidak untuk warga balong. Kampung Balong dapat dikondisikan aman tidak ada baku hantam sasaran amuk massa. Meskipun secara fisik dan garis lahir mereka memiliki perbedaan yang signifikan dengan masyarakat pribumi, tetapi perbedaan tersebut mesti dikalahkan oleh perasaan solidaritas sebagai sesama makhluk sosial dengan menanggalkan kesenjangan antar etnis dan agamis.

 Cerita singkat kampung balong 
part 1  9 oktober 2010

Kawasan pecinan di daerah balong, ini merupakan salah satu kawasan yang perlu dilestarikan. Mengutip dari beberapa tulisan yang pernah saya baca bahwa orang-orang tionghoa (china) diperkirakan sudah ada di Solo sejak tahun 1746, tidak lama setelah kota itu dijadikan dinasti mataram (kasunanan Surakarta) oleh Pakubuwono II. Ketika hadir di Solo pada 1746, dalam perkembangannya masyarakat etnis tionghoa harus tunduk kepada peraturan pemerintah kolonial yang diskriminatif. Masyarakat etnis tersebut dibatasi ruang geraknya dengan sistem surat jalan (passen stelsel). Mereka dilarang memiliki tanah, sesuai UU agraria 1870, bahkan tempat tinggalnya dilokalisasi di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama wijk. Setiap kampung cina atau wijk dikepalai oleh seorang kapitan china yang dikenal dengan sebutan “babah mayor”. Pada sekitar 1911, atas desakan organisasi atau gerakan nasionalis di kalangan orang-orang etnis tionghoa, pemerintah kolonial mengabulkan tuntutan penghapusan wijkenstelsel dan passenstelsel. Sejak itu pemukiman masyarakat etnis tionghoa tidak lagi mengelompok di daerah Balong, tapi telah menyebar ke lokasi yang lain seperti warung pelem, limasan, gandekan dan sekitar lojiwetan. Dan menariknya kampung balong masih tetap bertahan sebagai perkampungan pecinan. Sebab mayoritas masyarakat yang tinggal di sana keturunan cina.
Selintas diatas sedikit saya ceritakan awal mulanya masyarakat etnis cina di Solo, dan pada akhirnya kami memilih balong untuk dijadikan referensi pembelajaran dan sebagai bahan pemikiran. Langkah awal, kamipun mendatangi kelurahan Sudiroprajan guna meminta ijin untuk dapat melakukan penelusuran di daerah tersebut. Kehadiran kamipun dinilai dan diterima baik oleh instansi kelurahan Sudiroprajan, sehingga dapat diijinkan untuk melakukan penelitian terkait dengan perkembangan eksistensi keharmonisan warga balong yang masih tetap terjaga hingga saat ini.
Berkaitan dengan wacana tersebut saya dan teman sayapun mulai berinteraksi dengan warga balong. Kali pertama kami bertandang di daerah tersebut tepatnya pada hari sabtu,9 oktober 2010, dan kami pun beruntung dapat bertemu dengan bapak joko riyanto yang dikenal oleh warga dengan sapaan “pak antok”, sebagai kepala dusun atau sering disebut dengan bayan ini lah yang menghantarkan kami untuk dapat srawung dengan warga. Pertemuan awal kami dengan pak antok Banyak hal yang kami bicarakan berkaitan dengan terbentuknya balong, pluralitas dari masyarakat balong, keseniannya, perkawinan dua etnis jawa dan cina, kreativitas yang dihasilkan dan masih banyak hal. Munculnya fenomena kampung mbalong adalah sebagai wujud asimilasi Cina-Jawa, atau dalam bahasa local yang diistilahkan oleh pak Antok, disebut keturunan “ampyang” yaitu kacang Cina gula Jawa. Obrolan kamipun berlangsung cukup lama.Ini yang kami jadikan jembatan penghubung antara masyarakat dengan kami.

Mitos Kesenian Janggrungan di masyarakat Ngringo

Memasuki gang diperkampungan Ngringo Jaten Karanganyar terdengar sayup-sayup dari kejauhan suara gendhing jawa yang dibarengi suara dari seperangkat gamelan yang ditabuh oleh para pengrawit. Tak disangka suara tersebut berasal dari ritualan Janggrungan yang diadakan setiap setahun sekali pada bulan ruwah. Uniknya ritul ini digelar di dalam pemakaman umum Ngingo yang berada di jalan Amarta. 
 
Nampak kedua penari yang tak lagi berusia belia menyanyikan tembang jawa sambil menari ala kadarnya. Dengan mengenakan sampur atau selendang untuk menjerat para lelaki yang mau diajak berjoget. Begitulah ciri khas dari kesenian Janggrungan atau yang sering disebut dengan istilah Tayuban. 
 
Acara yang dimulai pukul 20.00 ini merupakan serangkaian dari acara bersih dusun yang sudah menjadi tradisi dari masyarakat Ngringo. Sebelum janggrungan dimulai sore harinya warga melakukan hajatan atau kondangan bersama. Mereka berkumpul dipesarean Kyai Jegang Wonolapan,yang dianggap ingkang mbau rekso atau sebagai sesepuh dikampung tersebut. Hajatan yang dilakukan warga ini sebagai bentuk rasa syukur dan hormat mereka kepada tuhan yang maha esa, atas limpahan keselamatan warga didesa itu. 
 
Menariknya dari tradisi bersih dusun ini adalah adanya mat-matan dan janggrungan. Kesenian yang telah dikenal sebagai kesenian rakyat di masyarakat pedesaan ini, pada malam itu hadir ditengah masyarakat perkotaan. Jika dibayangkan ini menjadi suatu hal yang mustahil, namun kemustahilan itu bisa ditepis lantaran mitos dari tradisi janggrungan yang menyelimuti masyarakat Ngringo. Tradisi yang telah mengakar inilah yang mengahantarkan kesenian Tayub bisa hidup diperkotaan. 
 
Konon menurut cerita tradisi ini telah dijalankan secara turun temurun dari masa nenek moyang terdahulu hingga di sekarang.”Ini sudah menjadi kebiasaan yang menaluri masyarakat. Apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang dahulu sudah suatu keharuskan dilakoni(dijalankan-red). Kalau tidak dilakukan masyarakat sini akan terkena bebendu atau musibah,” Ungkap Sutarto Budi Winoto(69)ketua pelaksana ritual serta sebagai warga yang dituakan. 
 
Sutarto menuturkan ditahun 1970-an silam masyarakat Ngringo mencoba mengganti ritual janggrungan dengan pagelaran wayang kulit yang digelar disalah satu rumah warga. Namun yang terjadi justru berbuah malapetaka. Pada saat itu banyak warga yang terjangkit penyakit dan tidak tau asalnya dari mana. Akhirnya dari kepercayaan itulah mitos mulai terbentuk di kalangan warga Ngringo. “Sejarahnya waktu nenek moyang dahulu diberi wangsit dari eyang Kyai Jegang Wonolapan. Kalau setelah masa panen harus melakukan bersih desa dengan menggelar janggrungan atau tayub. Berhubung ada suatu hal itu akhirnya tradisi ini tidak bisa ditinggalkan warga kampong sini,” jelas Sutarto.

Bertahan ditengah Modernitas Hiburan

Disisi lain kesenian Tayub tak akan meriah jika tanpa kehadiran ledhek atau penari tayub. Agar tradisi tahunan itu tetap terselenggara warga mendatangkan langsung dari kampong kedung jeruk kecamatan Mojo Gedang kabupaten Karangannyar. Kesenian yang telah mulai pudar inipun masih memikat hati para penikmat kesenian kampung ini, seperti mbah Tami (65)warga Ngringo Rt 02/Rw 04 yang pada malam itu telah menghabiskan waktu hanya untuk menonton kesenian ini.” Untungnya di kampung ini sudah menjadi tradisi yang harus dijalankan, jadi saya masih bisa melihat Tayuban, yang sekarang sudah jarang saya temui. Kalau mau melihat Tayub, ya harus menunggu ruwahan baru bisa melihat,” tuturnya.

Sementara itu kedua ledhek yang bernama Tukini dan Nah itu harus tetap menjalankan profesinya sebagai seorang penari tayub. Meskipun sudah jarang yang mengundangnya lantaran usia yang sudah lanjut. Mereka harus rela dibayar murah, agar kesenian ini tetap menjadi bagian dari kesenian rakyat. Jika dibayangkan di era jaman yang penuh dengan kecanggihan ala modernitas ini, tak ada lagi generasi muda yang mau menggeluti sebagai penari tayub. Lantas bagaimana kesenian ini bisa bertahan, mau tidak mau mereka hanya bisa bertahan di tengaj arus modernitas hiburan yang menjamur di berbagai daerah.

Seperti yang tercermin dari kedua perempuan berkonde itu tak peduli akan dinginnya malam, mereka harus mengenakan kemben, meski nampak kelelahan karena demi sebuah profesi yang telah lama ia geluti, mereka harus tetap menebar senyum yang tersirat dari gincu merahnya. Seketika tembang jawa mulai di nyanyikan, sampur atau selendang mulai di kalungkan dileher salah satu penonton untuk menemani penari berjoget hingga. 
 
Bertahan dengan kesenian yang lambat laun akan tergerus oleh perubahan jaman ini adalah beban dan tugas yang sangat berat, khusunya bagi seorang yang melakoni sebagai ledhek. Pasalnya profesi ledhek sering dianggap rendahan, dan kebanyakan orang menganggap penari tayub, hanyalah sebagai simbol seks belaka. Seperti halnya laku nyelup atau berhubungan seks, yang dari dulu hingga sekarang telah melekat di telinga masyarakat luas. Bahwa untuk menyempurnakan profesinya ia harus melakukan hal tersebut terutama dengan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi. Hal ini dipercaya seorang penari tayub akan menjadi laris. 

Masyarakat seharusnya mulai bisa mengikis image negatif itu, namun yang terpenting dibalik dari sisi negatif tersebut mereka para abdi untuk kesenian Tayub agar tetap hidup sampai sekarang. Tak hanya sebagai seorang abdi saja, dibalik pamornya yang telah mulai pudar keberadaan mereka sebenarnya berperan sebagai perempuan perkasa penopang kehidupan keluarganya.

Selasa, 12 Juli 2011

Biokop India

 Sekitar tahun 1998, masih banyak bertebaran bioskop di Solo. Selain presiden theater, Galaxy theater, dan star theater sepertinya dhady theater masih dikenang oleh sebagian besar masyarakat Solo. Pasalnya setiap saya mewawancarai warga Solo, kebanyakan dari mereka sering menceritakan bioskop dhady karena bioskop ini mempunyai keunikan dalam sejarah keberadaannya. Dhady theater yang berlokasi diseberang bioskop UP ini memiliki ciri khas dalam penyajian filmnya. 
Masyaraka kota Solo di era 1998 mengenal bioskop dhady theater dengan istilah bioskop india, film India dengan bintang-bintangnya yang terkenal; Hemamalini, Amita Bachan, Sashi Kapoor menduduki rating paling atas dalam merebut hati penonton. Tak heran jika penikmat film-film india berbondong-bondong mendatangi bioskop dhady. tak hanya filmnya saja yang memiliki kekhususan, segmentasi penontonnya juga berbeda dengan bioskop yang lain mulai dari warga keturunan etnis arab sampai pada tukang becak, tukang andong maupun pejalan kaki yang sekedar iseng ingin menontonnya. 
Lambat laun film India sudah tidak banyak yang meminatinya. Seiring dengan masuknya film produksi hollywood[1] sehingga film india mulai terseingkirkan. Tak hanya itu saja film india ternyata membutuhkan durasi yang panjang. oleh sebab itu untuk terus bernafas bioskop ini terpaksa harus mengganti dengan "film-film panas". Namun sayangnya lambat laun bioskop ini mulai jauh dari penonton, karena sistem monopoli yang berlaku antara para pengusaha film. Mau tidak mau bioskop kelas rakyat ini harus menggulung layarnya.bioskop. Dan penontonpu mulai berpindah ke bioskop fajar theater dengan film yang lebih bagus daripada di bioskop tersebut. sehingga yang terlihat sekarang bangunan dari bioskop ini beralih fungsi menjadi restaurant.



[1] Dalam industry film Hollywood, ada tujuh perusahaan produksi film raksasa yang berkuasa dijalur industri film di dunia Internasional. Ketujuh perusahaan tersebut adalah: Paramount,Walt Disney,Warner Brothers,Universal,20th Century Fox,MGM dan Sony/Columbia Picture. Perusahaan-perusahaan ini kuat disemua lini mulai dari produksi,distribusi,dan konsumsi sehingga mampu memilih dan mengeksploitasi pasar semaksimal mungkin. Film-film dari ketujuh raksasa inilah yang akhirnya mampu menembus pasar dunia termasuk Indonesia selaku film impor.

Minggu, 26 Juni 2011

Geliat Seni di Gedung Tua


“Ibarat lumpur yang mengendap di dasar sungai. Mengeras menjadi kerak begitulah kenanganku tentang gedung tua yang menurutku memiliki sejarah terkait perkembangan film di kota ini. Ingatan itu ibarat menjadi kerak didalam ingatanku. Mencoba untuk merangkai setiap kenangan yang masih tersisa dalam benak ini. Hingga membangkitkan keinginanku untuk menungkan dalam tuliasan.”

Seiring ditutupnya Gedung bioskop Solo Theater di kawasan Sriwedari, Solo kehilangan satu lagi gedung bioskop. Hadirnya gedung bioskop di pusat perbelanjaan, makin tak mampu memperpanjang nafas Solo theater. Yang akhirnya redup pada 1 mei 2005. Meskipun telah tutup enam tahun silam namun, hingga saat ini gedung bioskop yang telah lama tak terjamah ini tetap berdiri kokoh. Namun nahas, kondisinya cukup mengenaskan. Beberapa sudut bangunan juga sudah terlihat rusak digrogoti usia.
Tergerak untuk memanfaatkan gedung kusam dan tak terawat, sejumlah seniman muda di solo berinisiatif menjadikan tempat tersebut sebagai wadah berkarya. Mulai dari seniman pelukis muda, fotografer, seniman patung, para perupa seni kontemporer, anak-anak muda yang tergerak di bidang musik, grafiti serta penggagas film dokumenter. Mereka memanfaatkan gedung eks-Solo Theater ini sebagai studio seni dari hasil karya mereka.
Pada tahun 2010 tepatnya tanggal 7 mei gedung yang pernah mati suri ini dijadikan sebagai gedung kesenian Solo (GKS). Mulai saat itulah gedung ini terlihat hidup dan memiliki nilai fungsi yang lebih baik. Pada tanggal 25 mei 2010 yang lalu bertepatan dengan acara traveling jiffes gedung ini digunakan kembali sebagai tempat ekshibisi film. Dengan memanfaatkan salah satu ruang yang lama tak pernah dihuni, dan hanya berbekal proyektor pinjaman. Kini Solo memilliki bioskop alternatif sekaligus sebagai wadah bertukar pikiran.
Jika memasuki gedung tua ini, pandangan mata akan disuguhkan dengan beberapa fasilitas yang minim. Meskipun demikian para peminat film alternatif dapat menikmatinya, namun terkadang terusik dengan tetesan air hujan yang berasal dari atap bocor. Selain pengap, ruangannya pun tak dilengkapi pendingin ruangan alias AC. Dengan segala keterbatasan penggiat seni ini mencoba bertahan di GKS. Tak seperti gedung kesenian pada umumnya yang memiliki segala fasilitas yang ada sebagai ruang berkesenian. Hanya bermodal semangat dan minat berkarya hingga saat ini para seniman muda memanfaatkan gedung ini sebagai wadah penampung karya mereka. Kemudahan akses gedung ini menjadi pilihan alternatif kawula muda berkesenian sebagai ruang publik bagi mereka. 
Masih banyak bidang-bidang seni dan budaya dikota bengawan ini yang masih terpinggirkan dan seolah keberadaanya hanya menjadi pelengkap. Tak hanya seni visual, beberapa kelompok seni musik, tari dan budaya anak muda seolah masih menjadi “masalah” bagi beberapa kalangan di Solo, meski diakui ataupun tidak, kelompok-kelompok seni ini keberadaanya memang ada di Kota Solo dan telah berhasil membawa nama baik sampai tingkat Internasional. Dari ketimpangan yang terjadi itulah kemudian Gedung Kesenian Solo (GKS) yang berdiri di bekas gedung Solo Theater Sriwedari mencoba menangkap dan merespon atas munculnya kegiatan-kegiatan kreatif dan dinamika anak muda di Solo.
Keberagaman kegiatan kesenian anak muda merupakan sebuah aset terpendam, untuk itulah GKS diharapkan bisa menjadi ruang untuk berproses dan berkembang secara bersama-sama dalam segala kegiatan khususnya seni berbasis anak muda di Solo. Dalam konsepnya GKS tidak hanya menjadi tempat fisik untuk memajang atau menilai baik-buruknya sebuah karya, namun juga dapat digunakan sebagai ruang sirkulasi antar kreator muda untuk saling berjejaring dengan lintas disiplin ilmu yang berbeda. Program-program yang bermuatan edukasi seperti klinik, workshop, diskusi dan pelatihan seni yang diadakan secara reguler diharapkan akan menjadi tempat belajar alternatif kesenian di Solo, selain itu dengan dibentuknya Pool of Knowledge dalam konteks seni dan budaya anak muda, GKS akan dapat menyediakan sumber-sumber informasi dalam bentuk teks, gambar maupun video yang dapat diakses seluas-luasnya oleh publik.
Ironisnya terdengar santer diluaran rencana pemerintah yang akan merobohkan Gedung Kesenian Solo ini tentunya juga telah merobohkan beberapa harapan anak muda yang semula tidak pernah mendapatkan ruang untuk berproses. Namun mau bagaimana lagi, lambat laun ini akan terjadi. Dan akhirnya gedung ini hanya akan menjadi catatan sejarah yang pernah mewarnai ruang berkesenian di Bengawan ini, seperti sebelumnya gedung yang pernah difungsikan sebagai bioskop Sriwedari dan bioskop Solo Theatre inipun tinggal cerita.



Rabu, 27 April 2011

Surga pemburu buku-buku Langka


  
Tidak terlalu sulit untuk mengetahui dimana terdapat penjual buku bekas atau buku  Loak Hampir disetiap kota terdapat para pedagang buku bekas, dari mulai toko buku besar hingga PKL. Tempat-tempat itu bagaikan surga bagi para pecinta buku yang gemar berburu buku tua nan langka.
Di Solo ada dua kawasan yang terkenal dengan kios atau PKL penjual buku bekas. Sebut saja Busri yang letaknya berada di kawasan belakang Sriwedari dan satunya lagi berada di depan alun-alun utara atau sering orang menyebut di kawasan Gladag. Wilayah perdagangan itu mulai aktif sejak pukul 09.00 hingga pukul 16.00. Dan uniknya pedagang buku bekas ini sudah ada sejak tahun 1970 yang diawali oleh tiga orang pedagang saja.
Di Gladag terdapat 20 pedagang buku bekas namun yang buka rutin setiap harinya hanya 14 PKL. Tahun 1997, para pedagang ini mulai menempati kios di Gladag. Awalnya mereka hanya berjualan dengan cara oprokan dengan menggunakan terpal lantas menggelar dagangannya ditempat, atau kios yang mudah berpindah tempat yakni berbentuk gerobak. Seiring perjalanan keberadaan pedagang buku loak akhirnya memiliki kios permanen seperti kondisi sekarang ini.
Jika di Busri kebanyakan pembelinya dari kalangan pelajar dan mahasiswa, lain halnya dengan PKL di Gladag. Kios buku bekas disini selain sering dikunjungi oleh masyarakat umum juga kerap disambangi oleh para kolektor buku. Sekalipun tampak kumuh, namun tempat ini masih bisa dijumpai harta karun bernilai tinggi, yakni buku antik dan unik. Seperti naskah-naskah kuno dengan bahasa arab dan jawa carik yang biasanya sering orang jumpai di perpustakaan Keraton Kasunana, Mangkunegaran, dan Radyapustaka. Inilah yang biasanya diburu para kolektor.
Bambang Th (55) pedagang buku-buku langka mengaku jika hanya mengandalkan buku-buku baru saja tidak bisa jalan. “berjualan buku bekas yang paling menguntungkan saat lakunya buku kuno. Biasanya satu buku kuno yang cari bisa 20 orang. Ini yang membuat perdagangan buku loak menjadi bagus.” Katanya. Meskipun terbilang jarang lakunya namun bambang tetap mencari buku-buku langka yang menjadi incaran para kolektor.
Bambang menambahkan buku-buku langka itu ia dapatkan dari tempat-tempat penampungan rongsokan yang kemudia ia beli dengan harga perkilonya Rp.750. “biasanya saya mengambil dari 25 pemasok barang-barang bekas di Solo. dan buku-buku langka itu sering saya peroleh dari campuran rongsokan seperti botol-botol bekas.” Imbuhnya.
Jika sudah laku per buku harganya bisa mencapai ratusan ribu bahkan bisa sampai jutaan rupiah tergantung kualitas dan lamanya buku tersebut. Padahal jika dibandingkan dengan modal awal yang ia keluarkan cukup puluhan rupiah saja. Namun keuntungan yang didapat melebihi dari modal yang ia keluarkan. 



Kamis, 24 Maret 2011

Bioskop Ura Patria, Monumen Perjuangan Tentara Pelajar


Bioskop Ura Patria (UP), ini merupakan sebuah monumen Kejuangan Tentara Pelajar (TP). Karena jasa para pejuang yang telah dapat membebaskan kota Solo dari Cengkeraman Kolonial Belanda, maka para tentara pelajar (TP) Solo ini diberi penghargaan oleh pemerintah kota Surakarta.
 Waktu itu pihak pemerintah kota Surakarta menyerahkan sebidang tanah yang terletak strategis di pojok perempatan pasar pon antara jalan Slamet Riyadi dan jalan Gatot Subroto. Di atas tanah itu berdiri bangunan peninggalan Paku Buwono XII yang sebelumnya gedung itu digunakan pentasan ketoprak. Sejumlah pejuang TP kemudian membentuk yayasan untuk mengelolanya. Yayasan tersebut diketuai Hartono, anggota TP yang pernah menjadi Komandan Rayon kota Detasemen II Brigade 17 TP. Yayasan denga nama Ura Patria (UP) itu kemudian memanfaatkan gedung, sebagai tempat hiburan bioskop sejak tahun 1954. Kemudian untuk mengelola bioskop UP tersebut ditunjuk dua anggotanya, almarhun Karsono dan Sudadyo Pada masa jayanya pada tahun 1970-1990. 
meskipun hanya memiliki 1 layar saja namun UP mampu bertengger sebagai bioskop kelas satu sejajar dengan bioskop lain. Bioskop yang didirikan oleh para veteran tentara pelajar ini memang sangat diingat oleh banyak anak-anak SD di Solo sebagai tempat mereka diwajibkan menonton film-film macam Tjoet Njak Dien, Janur Kuning, dan film-film lainnya yang tergolong film perjuangan. Semula UP tidak hanya dikhususkan untuk film Indonesia saja, namun lama-kelamaan mulai dari tahun 1990-an UP berganti hanya dapat memutar film Indonesia saja yang pada saat itu didominasi film silat, komedi dan film drama panas. Ketika film Indonesia sedang lesu atau mengalami kemerosotan terkadang terlihat poster-poster film yang tidak pernah diganti selama berbulan-bulan.
ketika era video dan VCD mulai memasuki rumah-rumah, usaha itu mulai surut. Sejumlah bioskop di Solo, lebih-lebih yang kelas embek mulai menutup bioskopnya. Namun UP theater mampu bertahan meskipun harus turun kelas, yang membanggakan bioskop UP adalah satu-satunya bioskop yang setia memutar film-film produksi nasional dan mampu menjaring penonton dari masyarakat kelas atas hingga bawah. Bahkan saat berada di kelas bawah, UP mampu menjadi alternatif hiburan warga kelas bawah, menyusul penutupan sejumlah gedung bioskop karena kebangkrutan atau dibakar massa saat kerusuhan. Sajian film di UP tidak hanya mampu memberikan hiburan bagi penontonnya di dalam gedung, tapi juga hiburan para pemakai jalan Slamet Riyadi yang lewat depan gedung UP. Hiburan berupa poster-poster yang menayangkan film “panas” terpampang di atas gedung dengan adanya tulisan beberapa kalimat yang membuat sebagian masyarakat merasa risi jika melihatnya. Tetapi ini bukan tanpa resiko, akibat gambar-gambar poster tersebut UP sering diprotes warga. Mulai saat itulah biskop UP mendapat sebutan masyarakat dengan bioskop “porno”.
Hal ini menunjukkan keterpurukan industri perfilman nasional pada akhir dekade 1990-an membawa dampak signifikan kepada bioskop-bioskop yang pada saat itu mengalami masa drop dan mau tidak mau untuk dapat tetap bertahan bioskop ini tidak mempunyai pilihan film yang layak tonton. Sehingga  implikasi negatif juga mengena masyarakat khususnya para penonton. Tidak hanya sampai disini saja masa keterpurukan bioskop UP, namun juga munculnya masalah didalam bioskop UP.
Kemerosotan usaha bioskop itu menyebabkan pengelola UP gali lubang tutup lubang. Bahkan muncul masalah sekitar 1994, tanah dan bangunan Bioskop UP dilelang dijadikan jaminan kredit di bank oleh Ir.Suyono, menantu Sudadyo. Di pengadilan Negeri Surakarta diputuskan Bank Bukopin yang menggugat ahli waris direksi UP itu menang, sehingga tanah serta bangunan diatasnya harus dilelang untuk membayar utang. Kemudian lelang dimenangkan oleh Sundoro Husea, pengusaha dealer otomotif terkenal di Solo. Gugatan dan lelang itu menyebabkan pengurus yayasan UP bereaksi. Mereka menggugat ahli waris Karsono dan Sudadyo yang telah mengalih namakan sertifikat tanah bioskop UP. Selain itu juga menggugat Bank Bukopin serta Sundoro Husea. Gugat menggugat itu akhirnya berkepanjangan dan muncullah lima perkara yang menyangkut tanah itu. Meskipun masih dalam sengketa, tanah dan bangunan UP dieksekusi Pengadilan Negeri Surakarta atas perintah wakil ketua Mahkamah Agung. Akibat eksekusi itu bioskop UP ibarat sudah sekarat dan bioskop yang menjadi lambang kejuanga TP telah tergusur. Sehingga  riwayat bioskop yang diperakarsai para tentara pejuang itupun mulai tutup dan hingga sekarang hanya terdengar nama dan sejarah dari UP saja. yang dapat dilihat dari lokasi Bioskop UP sekarang hanyalah jejeran bangunan pertokoan.


[1] bioskop embek ;Istilah untuk bioskop yang berada di kelas bawah yaitu bioskop dengan fasilitas kenyamanan penonton cukup minim,dari segi teknologi kalah bersaing dengan bioskop yang ada diatasnya, dengan harga tiket yang murah, tidak ada klasifikasi kelas untuk kursi penontonnya dan filmnya tergolong film murah