Lesung dan Simbol
Masyarakat Agraris
Sore itu hujan menyekap di dusun
Kotakan, kelurahan Bakalan kabupaten Sukoharjo, namun ratusan warga baik muda
dan tua berbaur di pendopo sanggar seni sekar jagad. Aura harmonis keguyuban
terasa saat suara riuh tawa anak-anak mulai memecah keheningan.
Tawa kebahagian itu menyeruak
dibarengi dengan tabuhan lesung beradu alu di tangan ke delapan ibu yang
berusia lanjut, lengkap dengan gerakan tubuh yang berasal dari hentakaan saat
mereka menabuh lesung. Tabuhan itu lambat laun semakin rancak, dan suka cita itupun
sangat kuat yang terlihat disetiap senyum warga.
Mengenakan baju ala petani,
dengan jarik yang melilit di tubuhnya, tanpa polesan make up layaknya pagelaran
musik dengan kemegahan panggungnya. Ya,
mereka adalah para petani dari warga setempat yang masih melestarikan musik
tradisional yang dikenal dengan nama kotekan. Sungguh suatu pertunjukan musik
sederhana ala warga Kotakan Bakalan Sukoharjo.
Suatu kesadaran untuk kembali
menghidupkan seni yang berakar dari pedesaan ini merupakan suatu perwujudan
semangat yang patut diapresiasi. Pasalnya bukan suatu pekerjaan yang gampang,
menghadirkan kembali seni yang nyaris terlupakan, di tengah pesatnya industri
hiburan moderen. Dan secara tidak langsung mereka tengah mengingatkan kepada
masyarakat bahwa ini merupkan saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang
dikenal dengan negara agraris.
Keberadaan seni tradisional ini
ternyata sudah mengakar sejak zaman terdahulu dan sudah suatu keharusan untuk
tetap dilestarikan, “Keberadaan lesung didalam masyarakat agraris memang tidak
bisa dilepaskan dari alam berpikir masyarakatnya juga filosofi yang terkandung
didalamnya. Di desa ini ritual tabuh lesung sudah ada sejak dulu dan masih
digunakan untuk hajatan tertentu,” paparnya
Selain untuk melestarikan
keberadaan seni tradisional ini, Ngadimin mengaku, dengan adanya kotekan secara
tidak langsung telah membentuk suatu keguyuban antar warga, guna meminimalisir
konflik sosial di desa tersebut. “Yang paling terpenting adalah melalui seni
dan budaya, kita bisa membangun sepirit pancasila. Sehingga orang lebih bisa
memahami nilai luhur seni dan budaya yang berakar dari negara agraris ini, “
ungkapnya.
Seiring kemajuan zaman yang tidak
bisa terbendung, membuat fungsi kotekan dari waktu-kewaktu mengalami perubahan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Pada zaman terdahulu kesenian ini
digunakan sebagai alat penghibur dikala menumbuk padi, sekaligus sebagai media
untuk penanda saat ada bahaya seperti bencana alam, gerhana bulan atau gerhana
matahari. Tak hanya itu saja, dengan lesung inilah bisa mengumpulkan masyarakat
saat dilaksanakannya perhelatan bersih desa dan
upacara panen padi.
Seperti yang tergambar di desa
Kotakan ini, warga melakukan ritual tabuh lesung saat dilaksanakannya tanam
pohon yang dikerjakan secara bergtong royong. “Ini tentunya untuk menguatkan
memori tersebut meski secara aspek musikal juga mempunyai kekuatan daya panggil
dan bisa membawa kegembiraan bersama,” jelas Ngadimen.
Dibalik alunan suaranya yang
khas, permainan musik kotekan ini menyimpan nilai kehidupan yakni kesabaran,
ikhlas, mituhu dan budi luhur yang menjadi anutan kehidupan masyarakat jawa.
“Suara yang ada ini tidak hanya sekedar asal memukul lesung saja, namun ada
gending-gending pakem dan semua berbicara soal pertanian seperti halnya bonang
renting, sentek suri, asu gancet, dan lain-lain,” papar Ngadimin.
Salah satu contoh gendhing yang
kerap di tabuhkan adalah gendhing lesung Asu Gencet, artinya
anjing kawin. Dalam permainan tetabuhannya dicirikan khusus dua penabuh lesung
yang saling beradu pantat metafor dari posisi anjing kawin. Metafor tersebut
membawa pesan tentang tatanan musim di Jawa yang dikenal dengan istilah pranoto mongso, “Dimana ketika masyarakat sering melihat
banyaknya anjing kawin di jalanan maka itu sebagai tanda untuk memulai panen
padi di Jawa yang di kenal dengan istilah mongso ke songo,” jelas dia.
Lesung yang terbuat dari seonggok
kayu dengan beberapa lubang ditengahnya ini menyiratkan suatu simbol dari
perwujudan manusia yakni antara laki-laki dan perempuan. Lesung tak ubahnya
disimbolkan sebagai seorang hawa dan alu disimbolkan sebagai seorang pria. Tak
terpikirkan kesenian yang terlahir secara sederhana yang menggambarkan negara
agraris ini menyimpan nilai keluhuran yang mencerminkan karakter bangsa
Indonesia sesungguhnya.