Bioskop Ura Patria (UP), ini merupakan sebuah monumen Kejuangan Tentara Pelajar (TP). Karena jasa para pejuang yang telah dapat membebaskan kota Solo dari Cengkeraman Kolonial Belanda, maka para tentara pelajar (TP) Solo ini diberi penghargaan oleh pemerintah kota Surakarta.
Waktu itu pihak pemerintah kota Surakarta menyerahkan sebidang tanah yang terletak strategis di pojok perempatan pasar pon antara jalan Slamet Riyadi dan jalan Gatot Subroto. Di atas tanah itu berdiri bangunan peninggalan Paku Buwono XII yang sebelumnya gedung itu digunakan pentasan ketoprak. Sejumlah pejuang TP kemudian membentuk yayasan untuk mengelolanya. Yayasan tersebut diketuai Hartono, anggota TP yang pernah menjadi Komandan Rayon kota Detasemen II Brigade 17 TP. Yayasan denga nama Ura Patria (UP) itu kemudian memanfaatkan gedung, sebagai tempat hiburan bioskop sejak tahun 1954. Kemudian untuk mengelola bioskop UP tersebut ditunjuk dua anggotanya, almarhun Karsono dan Sudadyo Pada masa jayanya pada tahun 1970-1990.
meskipun hanya memiliki 1 layar saja namun UP mampu bertengger sebagai bioskop kelas satu sejajar dengan bioskop lain. Bioskop yang didirikan oleh para veteran tentara pelajar ini memang sangat diingat oleh banyak anak-anak SD di Solo sebagai tempat mereka diwajibkan menonton film-film macam Tjoet Njak Dien, Janur Kuning, dan film-film lainnya yang tergolong film perjuangan. Semula UP tidak hanya dikhususkan untuk film Indonesia saja, namun lama-kelamaan mulai dari tahun 1990-an UP berganti hanya dapat memutar film Indonesia saja yang pada saat itu didominasi film silat, komedi dan film drama panas. Ketika film Indonesia sedang lesu atau mengalami kemerosotan terkadang terlihat poster-poster film yang tidak pernah diganti selama berbulan-bulan.
ketika era video dan VCD mulai memasuki rumah-rumah, usaha itu mulai surut. Sejumlah bioskop di Solo, lebih-lebih yang kelas embek mulai menutup bioskopnya. Namun UP theater mampu bertahan meskipun harus turun kelas, yang membanggakan bioskop UP adalah satu-satunya bioskop yang setia memutar film-film produksi nasional dan mampu menjaring penonton dari masyarakat kelas atas hingga bawah. Bahkan saat berada di kelas bawah, UP mampu menjadi alternatif hiburan warga kelas bawah, menyusul penutupan sejumlah gedung bioskop karena kebangkrutan atau dibakar massa saat kerusuhan. Sajian film di UP tidak hanya mampu memberikan hiburan bagi penontonnya di dalam gedung, tapi juga hiburan para pemakai jalan Slamet Riyadi yang lewat depan gedung UP. Hiburan berupa poster-poster yang menayangkan film “panas” terpampang di atas gedung dengan adanya tulisan beberapa kalimat yang membuat sebagian masyarakat merasa risi jika melihatnya. Tetapi ini bukan tanpa resiko, akibat gambar-gambar poster tersebut UP sering diprotes warga. Mulai saat itulah biskop UP mendapat sebutan masyarakat dengan bioskop “porno”.
Hal ini menunjukkan keterpurukan industri perfilman nasional pada akhir dekade 1990-an membawa dampak signifikan kepada bioskop-bioskop yang pada saat itu mengalami masa drop dan mau tidak mau untuk dapat tetap bertahan bioskop ini tidak mempunyai pilihan film yang layak tonton. Sehingga implikasi negatif juga mengena masyarakat khususnya para penonton. Tidak hanya sampai disini saja masa keterpurukan bioskop UP, namun juga munculnya masalah didalam bioskop UP.
Kemerosotan usaha bioskop itu menyebabkan pengelola UP gali lubang tutup lubang. Bahkan muncul masalah sekitar 1994, tanah dan bangunan Bioskop UP dilelang dijadikan jaminan kredit di bank oleh Ir.Suyono, menantu Sudadyo. Di pengadilan Negeri Surakarta diputuskan Bank Bukopin yang menggugat ahli waris direksi UP itu menang, sehingga tanah serta bangunan diatasnya harus dilelang untuk membayar utang. Kemudian lelang dimenangkan oleh Sundoro Husea, pengusaha dealer otomotif terkenal di Solo. Gugatan dan lelang itu menyebabkan pengurus yayasan UP bereaksi. Mereka menggugat ahli waris Karsono dan Sudadyo yang telah mengalih namakan sertifikat tanah bioskop UP. Selain itu juga menggugat Bank Bukopin serta Sundoro Husea. Gugat menggugat itu akhirnya berkepanjangan dan muncullah lima perkara yang menyangkut tanah itu. Meskipun masih dalam sengketa, tanah dan bangunan UP dieksekusi Pengadilan Negeri Surakarta atas perintah wakil ketua Mahkamah Agung. Akibat eksekusi itu bioskop UP ibarat sudah sekarat dan bioskop yang menjadi lambang kejuanga TP telah tergusur. Sehingga riwayat bioskop yang diperakarsai para tentara pejuang itupun mulai tutup dan hingga sekarang hanya terdengar nama dan sejarah dari UP saja. yang dapat dilihat dari lokasi Bioskop UP sekarang hanyalah jejeran bangunan pertokoan.
[1] bioskop embek ;Istilah untuk bioskop yang berada di kelas bawah yaitu bioskop dengan fasilitas kenyamanan penonton cukup minim,dari segi teknologi kalah bersaing dengan bioskop yang ada diatasnya, dengan harga tiket yang murah, tidak ada klasifikasi kelas untuk kursi penontonnya dan filmnya tergolong film murah
sip... (fb)dio@muslim.com
BalasHapustengkyu..... :-)
BalasHapusMakasih infonya...mohon ijin buat posting bbrp keterangan diatas njih boeat penambah wawasan di blog saya http://koempoelanbarangdjadoel.blogspot.com
BalasHapusKebetulan sya mendapatkan buku kenangan tahun ke 5 Ura Patria.
Suwun
apa ada cerita sejarah lain dari bioskop di Solo sepeerti ini?
BalasHapus