Rabu, 26 Oktober 2011


Mitos Kesenian Janggrungan di masyarakat Ngringo

Memasuki gang diperkampungan Ngringo Jaten Karanganyar terdengar sayup-sayup dari kejauhan suara gendhing jawa yang dibarengi suara dari seperangkat gamelan yang ditabuh oleh para pengrawit. Tak disangka suara tersebut berasal dari ritualan Janggrungan yang diadakan setiap setahun sekali pada bulan ruwah. Uniknya ritul ini digelar di dalam pemakaman umum Ngingo yang berada di jalan Amarta. 
 
Nampak kedua penari yang tak lagi berusia belia menyanyikan tembang jawa sambil menari ala kadarnya. Dengan mengenakan sampur atau selendang untuk menjerat para lelaki yang mau diajak berjoget. Begitulah ciri khas dari kesenian Janggrungan atau yang sering disebut dengan istilah Tayuban. 
 
Acara yang dimulai pukul 20.00 ini merupakan serangkaian dari acara bersih dusun yang sudah menjadi tradisi dari masyarakat Ngringo. Sebelum janggrungan dimulai sore harinya warga melakukan hajatan atau kondangan bersama. Mereka berkumpul dipesarean Kyai Jegang Wonolapan,yang dianggap ingkang mbau rekso atau sebagai sesepuh dikampung tersebut. Hajatan yang dilakukan warga ini sebagai bentuk rasa syukur dan hormat mereka kepada tuhan yang maha esa, atas limpahan keselamatan warga didesa itu. 
 
Menariknya dari tradisi bersih dusun ini adalah adanya mat-matan dan janggrungan. Kesenian yang telah dikenal sebagai kesenian rakyat di masyarakat pedesaan ini, pada malam itu hadir ditengah masyarakat perkotaan. Jika dibayangkan ini menjadi suatu hal yang mustahil, namun kemustahilan itu bisa ditepis lantaran mitos dari tradisi janggrungan yang menyelimuti masyarakat Ngringo. Tradisi yang telah mengakar inilah yang mengahantarkan kesenian Tayub bisa hidup diperkotaan. 
 
Konon menurut cerita tradisi ini telah dijalankan secara turun temurun dari masa nenek moyang terdahulu hingga di sekarang.”Ini sudah menjadi kebiasaan yang menaluri masyarakat. Apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang dahulu sudah suatu keharuskan dilakoni(dijalankan-red). Kalau tidak dilakukan masyarakat sini akan terkena bebendu atau musibah,” Ungkap Sutarto Budi Winoto(69)ketua pelaksana ritual serta sebagai warga yang dituakan. 
 
Sutarto menuturkan ditahun 1970-an silam masyarakat Ngringo mencoba mengganti ritual janggrungan dengan pagelaran wayang kulit yang digelar disalah satu rumah warga. Namun yang terjadi justru berbuah malapetaka. Pada saat itu banyak warga yang terjangkit penyakit dan tidak tau asalnya dari mana. Akhirnya dari kepercayaan itulah mitos mulai terbentuk di kalangan warga Ngringo. “Sejarahnya waktu nenek moyang dahulu diberi wangsit dari eyang Kyai Jegang Wonolapan. Kalau setelah masa panen harus melakukan bersih desa dengan menggelar janggrungan atau tayub. Berhubung ada suatu hal itu akhirnya tradisi ini tidak bisa ditinggalkan warga kampong sini,” jelas Sutarto.

Bertahan ditengah Modernitas Hiburan

Disisi lain kesenian Tayub tak akan meriah jika tanpa kehadiran ledhek atau penari tayub. Agar tradisi tahunan itu tetap terselenggara warga mendatangkan langsung dari kampong kedung jeruk kecamatan Mojo Gedang kabupaten Karangannyar. Kesenian yang telah mulai pudar inipun masih memikat hati para penikmat kesenian kampung ini, seperti mbah Tami (65)warga Ngringo Rt 02/Rw 04 yang pada malam itu telah menghabiskan waktu hanya untuk menonton kesenian ini.” Untungnya di kampung ini sudah menjadi tradisi yang harus dijalankan, jadi saya masih bisa melihat Tayuban, yang sekarang sudah jarang saya temui. Kalau mau melihat Tayub, ya harus menunggu ruwahan baru bisa melihat,” tuturnya.

Sementara itu kedua ledhek yang bernama Tukini dan Nah itu harus tetap menjalankan profesinya sebagai seorang penari tayub. Meskipun sudah jarang yang mengundangnya lantaran usia yang sudah lanjut. Mereka harus rela dibayar murah, agar kesenian ini tetap menjadi bagian dari kesenian rakyat. Jika dibayangkan di era jaman yang penuh dengan kecanggihan ala modernitas ini, tak ada lagi generasi muda yang mau menggeluti sebagai penari tayub. Lantas bagaimana kesenian ini bisa bertahan, mau tidak mau mereka hanya bisa bertahan di tengaj arus modernitas hiburan yang menjamur di berbagai daerah.

Seperti yang tercermin dari kedua perempuan berkonde itu tak peduli akan dinginnya malam, mereka harus mengenakan kemben, meski nampak kelelahan karena demi sebuah profesi yang telah lama ia geluti, mereka harus tetap menebar senyum yang tersirat dari gincu merahnya. Seketika tembang jawa mulai di nyanyikan, sampur atau selendang mulai di kalungkan dileher salah satu penonton untuk menemani penari berjoget hingga. 
 
Bertahan dengan kesenian yang lambat laun akan tergerus oleh perubahan jaman ini adalah beban dan tugas yang sangat berat, khusunya bagi seorang yang melakoni sebagai ledhek. Pasalnya profesi ledhek sering dianggap rendahan, dan kebanyakan orang menganggap penari tayub, hanyalah sebagai simbol seks belaka. Seperti halnya laku nyelup atau berhubungan seks, yang dari dulu hingga sekarang telah melekat di telinga masyarakat luas. Bahwa untuk menyempurnakan profesinya ia harus melakukan hal tersebut terutama dengan orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi. Hal ini dipercaya seorang penari tayub akan menjadi laris. 

Masyarakat seharusnya mulai bisa mengikis image negatif itu, namun yang terpenting dibalik dari sisi negatif tersebut mereka para abdi untuk kesenian Tayub agar tetap hidup sampai sekarang. Tak hanya sebagai seorang abdi saja, dibalik pamornya yang telah mulai pudar keberadaan mereka sebenarnya berperan sebagai perempuan perkasa penopang kehidupan keluarganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar