Cerita singkat kampung balong
part 1 9 oktober 2010
Kawasan pecinan di daerah
balong, ini merupakan salah satu kawasan yang perlu dilestarikan.
Mengutip dari beberapa tulisan yang pernah saya baca bahwa
orang-orang tionghoa (china) diperkirakan sudah ada di Solo sejak
tahun 1746, tidak lama setelah kota itu dijadikan dinasti mataram
(kasunanan Surakarta) oleh Pakubuwono II. Ketika hadir di Solo pada
1746, dalam perkembangannya masyarakat etnis tionghoa harus tunduk
kepada peraturan pemerintah kolonial yang diskriminatif. Masyarakat
etnis tersebut dibatasi ruang geraknya dengan sistem surat jalan
(passen
stelsel).
Mereka dilarang memiliki tanah, sesuai UU agraria 1870, bahkan tempat
tinggalnya dilokalisasi di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama
wijk.
Setiap kampung cina atau wijk
dikepalai
oleh seorang kapitan china yang dikenal dengan sebutan “babah
mayor”. Pada sekitar 1911, atas desakan organisasi atau gerakan
nasionalis di kalangan orang-orang etnis tionghoa, pemerintah
kolonial mengabulkan tuntutan penghapusan wijkenstelsel
dan
passenstelsel.
Sejak itu pemukiman masyarakat etnis tionghoa tidak lagi mengelompok
di daerah Balong, tapi telah menyebar ke lokasi yang lain seperti
warung pelem, limasan, gandekan dan sekitar lojiwetan. Dan menariknya
kampung balong masih tetap bertahan sebagai perkampungan pecinan.
Sebab mayoritas masyarakat yang tinggal di sana keturunan cina.
Selintas diatas sedikit
saya ceritakan awal mulanya masyarakat etnis cina di Solo, dan pada
akhirnya kami memilih balong untuk dijadikan referensi pembelajaran
dan sebagai bahan pemikiran. Langkah awal, kamipun mendatangi
kelurahan Sudiroprajan guna meminta ijin untuk dapat melakukan
penelusuran di daerah tersebut. Kehadiran kamipun dinilai dan
diterima baik oleh instansi kelurahan Sudiroprajan, sehingga dapat
diijinkan untuk melakukan penelitian terkait dengan perkembangan
eksistensi keharmonisan warga balong yang masih tetap terjaga hingga
saat ini.
Berkaitan dengan wacana
tersebut saya dan teman sayapun mulai berinteraksi dengan warga
balong. Kali pertama kami bertandang di daerah tersebut tepatnya pada
hari sabtu,9 oktober 2010, dan kami pun beruntung dapat bertemu
dengan bapak joko riyanto yang dikenal oleh warga dengan sapaan “pak
antok”, sebagai kepala dusun atau sering disebut dengan bayan ini
lah yang menghantarkan kami untuk dapat srawung dengan warga.
Pertemuan awal kami dengan pak antok Banyak hal yang kami bicarakan
berkaitan dengan terbentuknya balong, pluralitas dari masyarakat
balong, keseniannya, perkawinan dua etnis jawa dan cina, kreativitas
yang dihasilkan dan masih banyak hal. Munculnya fenomena kampung
mbalong adalah sebagai wujud asimilasi Cina-Jawa, atau dalam bahasa
local yang diistilahkan oleh pak Antok, disebut keturunan “ampyang”
yaitu kacang Cina gula Jawa. Obrolan kamipun berlangsung cukup
lama.Ini yang kami jadikan jembatan penghubung antara masyarakat
dengan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar