Rabu, 26 Oktober 2011


 Cerita singkat kampung balong 
part 1  9 oktober 2010

Kawasan pecinan di daerah balong, ini merupakan salah satu kawasan yang perlu dilestarikan. Mengutip dari beberapa tulisan yang pernah saya baca bahwa orang-orang tionghoa (china) diperkirakan sudah ada di Solo sejak tahun 1746, tidak lama setelah kota itu dijadikan dinasti mataram (kasunanan Surakarta) oleh Pakubuwono II. Ketika hadir di Solo pada 1746, dalam perkembangannya masyarakat etnis tionghoa harus tunduk kepada peraturan pemerintah kolonial yang diskriminatif. Masyarakat etnis tersebut dibatasi ruang geraknya dengan sistem surat jalan (passen stelsel). Mereka dilarang memiliki tanah, sesuai UU agraria 1870, bahkan tempat tinggalnya dilokalisasi di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama wijk. Setiap kampung cina atau wijk dikepalai oleh seorang kapitan china yang dikenal dengan sebutan “babah mayor”. Pada sekitar 1911, atas desakan organisasi atau gerakan nasionalis di kalangan orang-orang etnis tionghoa, pemerintah kolonial mengabulkan tuntutan penghapusan wijkenstelsel dan passenstelsel. Sejak itu pemukiman masyarakat etnis tionghoa tidak lagi mengelompok di daerah Balong, tapi telah menyebar ke lokasi yang lain seperti warung pelem, limasan, gandekan dan sekitar lojiwetan. Dan menariknya kampung balong masih tetap bertahan sebagai perkampungan pecinan. Sebab mayoritas masyarakat yang tinggal di sana keturunan cina.
Selintas diatas sedikit saya ceritakan awal mulanya masyarakat etnis cina di Solo, dan pada akhirnya kami memilih balong untuk dijadikan referensi pembelajaran dan sebagai bahan pemikiran. Langkah awal, kamipun mendatangi kelurahan Sudiroprajan guna meminta ijin untuk dapat melakukan penelusuran di daerah tersebut. Kehadiran kamipun dinilai dan diterima baik oleh instansi kelurahan Sudiroprajan, sehingga dapat diijinkan untuk melakukan penelitian terkait dengan perkembangan eksistensi keharmonisan warga balong yang masih tetap terjaga hingga saat ini.
Berkaitan dengan wacana tersebut saya dan teman sayapun mulai berinteraksi dengan warga balong. Kali pertama kami bertandang di daerah tersebut tepatnya pada hari sabtu,9 oktober 2010, dan kami pun beruntung dapat bertemu dengan bapak joko riyanto yang dikenal oleh warga dengan sapaan “pak antok”, sebagai kepala dusun atau sering disebut dengan bayan ini lah yang menghantarkan kami untuk dapat srawung dengan warga. Pertemuan awal kami dengan pak antok Banyak hal yang kami bicarakan berkaitan dengan terbentuknya balong, pluralitas dari masyarakat balong, keseniannya, perkawinan dua etnis jawa dan cina, kreativitas yang dihasilkan dan masih banyak hal. Munculnya fenomena kampung mbalong adalah sebagai wujud asimilasi Cina-Jawa, atau dalam bahasa local yang diistilahkan oleh pak Antok, disebut keturunan “ampyang” yaitu kacang Cina gula Jawa. Obrolan kamipun berlangsung cukup lama.Ini yang kami jadikan jembatan penghubung antara masyarakat dengan kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar