Cerita singkat kampung Balong
Part 2, 13 oktober 2010
Malam hari kami pun
kembali ke kelurahan Sudiroprajan, pada malam itu banyak orang telah
berkumpul dikelurahan tersebut, untuk melakukan kegiatan rutin kumpul
Rt dan Rw, dan dengan mendatangkan pembicara. Entah apa yang dibahas
dalam pertemuan itu kami kurang tau, karena kami berada diluar dengan
pak antok. Rabu 13 oktober 2010, kami berkesempatan berhimpun dengan
warga balong, tak ada kesan keterasingan begitu yang dapat kami
tangkap. Kesahajaan, gotong royong, layaknya hidup dipedesaan dengan
nuansa penuh kekeluargaan, seperti itulah yang dapat kami rasakan,
sehingga tak terlihat mana yang pribumi dan mana yang non pribumi.
Terpintas dipikiranku, balong dan Sudiroprajan dua kampung yang
identik sebagai pusat tempat tinggal warga etnis tionghoa dan
keturunannya ini ternyata menyimpan akulturasi kebudayaan antara
warga tionghoa dan pribumi berpadu dan menyatu dalam sebuah harmoni
yang selaras dan indah namun tetap alami. Seperti pernikahan
antaretnis, yang pada malam itu juga diperkenalkan kepada kami
beberapa keluarga dari pernikahan dua etnis yang berbeda, mungkin
kebanyakan orang ini suatu hal yang biasa. Namun dari sisi itulah
membentuk generasi yang tinggal di kampung tersebut saat ini,
kebanyakan sudah berdarah campuran.
Hari berikutnya kami masih
menelusuri perkampungan itu, melewati gang-gang yang tidak begitu
luas dengan deretan rumah-rumah yang tak ada jarak antara rumah yang
satu dan lainnya, sering orang menyebutnya dengan gang kelinci, dan
ini pun cukup menggambarkan warga etnis cina yang hidup disana dengan
kondisi perekonomian menengah ke bawah. Itu bukan hal yang
terpenting, dipemukiman itulah kami bertemu dengan salah satu warga
cina, Sebut saja koh jepang.
Banyak hal yang
diceritakan oleh koh jepang salah satunya adalah bicara soal
peristiwa 98. Mengenakan celana pendek dan kaos warna putih ini
mencoba kembali mengingat lembaran kelam masa silam di mana kerusuhan
di Solo begitu cepat tersulut hanya karena isu pribumi dan non
pribumi. Pada saat itu memang cukup mengkhawatirkan untuk warga etnis
tionghoa, namun tidak untuk warga balong. Kampung Balong dapat
dikondisikan aman tidak ada baku hantam sasaran amuk massa. Meskipun
secara fisik dan garis lahir mereka memiliki perbedaan yang
signifikan dengan masyarakat pribumi, tetapi perbedaan tersebut mesti
dikalahkan oleh perasaan solidaritas sebagai sesama makhluk sosial
dengan menanggalkan kesenjangan antar etnis dan agamis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar