Rabu, 26 Oktober 2011


  Cerita singkat kampung Balong
Part 2, 13 oktober 2010

Malam hari kami pun kembali ke kelurahan Sudiroprajan, pada malam itu banyak orang telah berkumpul dikelurahan tersebut, untuk melakukan kegiatan rutin kumpul Rt dan Rw, dan dengan mendatangkan pembicara. Entah apa yang dibahas dalam pertemuan itu kami kurang tau, karena kami berada diluar dengan pak antok. Rabu 13 oktober 2010, kami berkesempatan berhimpun dengan warga balong, tak ada kesan keterasingan begitu yang dapat kami tangkap. Kesahajaan, gotong royong, layaknya hidup dipedesaan dengan nuansa penuh kekeluargaan, seperti itulah yang dapat kami rasakan, sehingga tak terlihat mana yang pribumi dan mana yang non pribumi. Terpintas dipikiranku, balong dan Sudiroprajan dua kampung yang identik sebagai pusat tempat tinggal warga etnis tionghoa dan keturunannya ini ternyata menyimpan akulturasi kebudayaan antara warga tionghoa dan pribumi berpadu dan menyatu dalam sebuah harmoni yang selaras dan indah namun tetap alami. Seperti pernikahan antaretnis, yang pada malam itu juga diperkenalkan kepada kami beberapa keluarga dari pernikahan dua etnis yang berbeda, mungkin kebanyakan orang ini suatu hal yang biasa. Namun dari sisi itulah membentuk generasi yang tinggal di kampung tersebut saat ini, kebanyakan sudah berdarah campuran.
Hari berikutnya kami masih menelusuri perkampungan itu, melewati gang-gang yang tidak begitu luas dengan deretan rumah-rumah yang tak ada jarak antara rumah yang satu dan lainnya, sering orang menyebutnya dengan gang kelinci, dan ini pun cukup menggambarkan warga etnis cina yang hidup disana dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah. Itu bukan hal yang terpenting, dipemukiman itulah kami bertemu dengan salah satu warga cina, Sebut saja koh jepang.
Banyak hal yang diceritakan oleh koh jepang salah satunya adalah bicara soal peristiwa 98. Mengenakan celana pendek dan kaos warna putih ini mencoba kembali mengingat lembaran kelam masa silam di mana kerusuhan di Solo begitu cepat tersulut hanya karena isu pribumi dan non pribumi. Pada saat itu memang cukup mengkhawatirkan untuk warga etnis tionghoa, namun tidak untuk warga balong. Kampung Balong dapat dikondisikan aman tidak ada baku hantam sasaran amuk massa. Meskipun secara fisik dan garis lahir mereka memiliki perbedaan yang signifikan dengan masyarakat pribumi, tetapi perbedaan tersebut mesti dikalahkan oleh perasaan solidaritas sebagai sesama makhluk sosial dengan menanggalkan kesenjangan antar etnis dan agamis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar